Rabu, 29 Juli 2015

Keutamaan Mengkaji Islam

KEUTAMAAN MENGKAJI ISLAM

1. Orang yang memperdalam ilmu agama, maka Allah subhanahu wata’ala akan memudahkan jalannya menuju surga

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda

ومن سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة

“Dan barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mempermudah baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

2. Orang yang memperdalam ilmu agama maka para Malaikat akan membentangkan sayapnya untuk menaungi mereka karena ridha dengan apa yang mereka cari

إن الملائكة لتضع أجنحتها لطالب العلم رضا بما يطلب

“Dan sesungguhnya malaikat benar-benar akan merendahkan sayapnya untuk orang yang menuntut ilmu karena mereka meridhai apa yang ia pelajari.” (HR. Abu Dawud).

#YukNgaji

Jangan pernah mengentengkan untuk mengaminkan

Jangan Pernah Mengentengkan untuk Mengaminkan

Oleh : KH Hafidz Abdurrahman

INILAHCOM, Jakarta- Jangan sekali-kali meremehkan "aamiin". Maka tidak cukup di dalam hati. Nabi menjelaskan ihwal "Aamiin" ini.

Kata Nabi, "Jibril mengajariku "Aamiin", ketika aku selesai membaca al-Fatihah. "Aamiin" itu seperti stempel untuk al-Qur'an." Bahkan dalam riwayat lain, "Aamiin itu adalah stempel Allah, Tuhan semesta alam."

Abu Bakar menjelaskan, "Maknanya, "aamiin" itu merupakan stempel Allah untuk hamba-Nya. Karena ia bisa menolak segala penyakit dan bala' dari mereka.

Bahkan, dalam hadits lain disebutkan, "Aamiin itu salah satu tangga di surga." Maknanya, kata Abu Bakar, "Kata yang dengannya, orang yang mengucapkannya berhak mendapatkan salah satu tangga surga."

Wahab bin Munabbih berkata, "Aamiin terdiri dari 4 huruf (yaitu, Alif, Mim, Ya' dan Nun), dimana di setiap hurufnya Allah ciptakan satu malaikat. Malaikat berkata (ketika ada yang mengucapkan "Aamiin"), "Allahummaghfir likulli man qala Amin (Ya Allah, ampunilah setiap orang yang mengucapkan Amin)."

Karena itu, sampai seorang penyair mengatakan, "Aamiin, Aamiin, aku tidak rela hanya dengan mengucapkan sekali, hingga aku akan mengulangnya 2000 Aamiin.." Penyair yang lain mengatakan, "Allah mengasihi seorang hamba yang berkata, 'Aamiin"..

Nabi sendiri, ketika habis membaca al-Fatihah, selalu mengucapkan "Aamiin." hingga bacaannya terdengar oleh barisan pertama dalam shalat. Jadi, tidak cukup mengucapkan "Aamiin" di dalam hati.

Bahkan, saking istimewanya "Aamiin", kata Nabi, "Sesungguhnya Allah telah memberikan kepada umatku, apa yang tidak diberikan kepada siapapun sebelum mereka: (1) "as-Salam", yaitu salam penghuni surga; (2) Barisan malaikat; (3) Aamiin.." (Dinukil dari Tafsir al-Qurthubi, tentang Amin).

Subhanallah. Andai, kita tahu kemuliaan "Aamiin", kita tidak akan melewatkan kata "Aamiin", meski kelihatannya enteng.

Minggu, 19 Juli 2015

Bagaimana Mekanisme Puasa Syawal?

• Puasa Syawal •

Kita tahu bersama bahwa puasa Syawal itu punya keutamaan, bagi yang berpuasa Ramadhan dengan sempurna lantas mengikutkan puasa 6 hari di bulan Syawal, maka ia akan mendapatkan pahala puasa setahun penuh. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:

مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالٍ كَانَ كَصِيَامِ الدَّهْرِ

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Itulah dalil dari mayoritas ulama yag menunjukkan sunnahnya puasa Syawal. Kenapa puasa Syawal bisa dinilai berpuasa setahun? Mari kita lihat pada hadits Tsauban berikut ini:

عَنْ ثَوْبَانَ مَوْلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « مَنْ صَامَ سِتَّةَ أَيَّامٍ بَعْدَ الْفِطْرِ كَانَ تَمَامَ السَّنَةِ (مَنْ جَاءَ بِالْحَسَنَةِ فَلَهُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا) »

Dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa berpuasa enam hari di bulan Syawal setelah Idul Fithri, maka ia telah menyempurnakan puasa setahun penuh. Karena siapa saja yang melakukan kebaikan, maka akan dibalas sepuluh kebaikan semisal.”  (HR. Ibnu Majah no. 1715. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Disebutkan bahwa setiap kebaikan akan dibalas minimal dengan sepuluh kebaikan yang semisal. Ini menunjukkan bahwa puasa Ramadhan sebulan penuh akan dibalas dengan 10 bulan kebaikan puasa. Sedangkan puasa enam hari di bulan Syawal akan dibalas minimal dengan 60 hari (2 bulan) kebaikan puasa. Jika dijumlah, seseorang sama saja melaksanakan puasa 10 bulan + 2 bulan sama dengan 12 bulan. Itulah mengapa orang yang melakukan puasa Syawal bisa mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh.

Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa Ramadhan terlebih dahulu baru mengerjakan puasa sunnah syawal.

Ibnu Rajab Al Hambali rahimahullah berkata, “Siapa yang mempunyai kewajiban qodho’ puasa Ramadhan, hendaklah ia memulai puasa qodho’nya di bulan Syawal. Hal itu lebih akan membuat kewajiban seorang muslim menjadi gugur. Bahkan puasa qodho’ itu lebih utama dari puasa enam hari Syawal.” (Lathoiful Ma’arif, hal. 391).

Puasa sunnah Syawal dilakukan selama enam hari, Sebagaimana disebutkan dalam hadits bahwa puasa Syawal itu dilakukan selama enam hari. Lafazh hadits di atas adalah:

“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.” (HR. Muslim no. 1164).

Dari hadits tersebut, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berkata, “Yang disunnahkan adalah berpuasa enam hari di bulan Syawal.” (Syarhul Mumti’, 6: 464).

Lebih utama dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa  kapanpun asalkan masih di bulan Syawal.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Para fuqoha berkata bahwa yang lebih utama, enam hari di atas dilakukan setelah Idul Fithri (1 Syawal) secara langsung. Ini menunjukkan bersegera dalam melakukan kebaikan.” (Syarhul Mumti’, 6: 465).

Lebih utama dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.

Syaikh Ibnu ‘Utsaimin juga berkata, “Lebih utama puasa Syawal dilakukan secara berurutan karena itulah yang umumnya lebih mudah. Itu pun tanda berlomba-lomba dalam hal yang diperintahkan.” (Idem)




Instagram : @sekilasISLAM
FB : https://m.facebook.com/sekilasislam

Lupa Diri

Lupa Diri
oleh : akhi Ari

Td malam aku lupa
Lupa terbangun utk bermunajat kepadaNya
Ah, padahal baru saja dua malam lalu terjaga
Dengan berharap penuh pada ridhaNya

Seharian berkeliling silaturahmi
Makan segala apa yg tersaji
Seakan tak pernah makan berhari-hari
Padahal hari sebelumnya masih bisa menahan diri

Bertemu sanak saudara bercanda haha hihi
Diselingi ghibah sana sini
Atau membuat lelucon tak berarti
Hanya ingin jd pusat perhatian famili

Ah, padahal sebulan sdh latihan
Menahan makan juga lisan
Tak peduli teman memulai pertengkaran
Hati tetap tenang dg segala ucapan

Hari raya ini tilawah tidak kholas
Bahkan selembarpun tak tuntas
Sebulan penuh kmrn 2 kali khatam tak berbekas
Bahkan japrian adminpun malas utk dibalas

Ah..ah..ah ...
Aku kenapa
Sebulan tampak sholih
Sehari liwat sudah beralih

Aku mau berubah
Aku janji tdk lagi bertingkah
Aku ingat suatu tausiyah
Rugi diri jika makin hari taqwa tak bertambah

Ya Allah...
Tetapkan hatiku di atas jalanMu
Istiqomahkan aku
Jadikan aku termasuk bagian orang sholih
Dan berharap mendapat surgaMu

Aamiin...

Jumat, 17 Juli 2015

Para Suami, Berhiaslah untuk Istrimu

BAGAIMANA pun seorang istri ada di bawah tanggung jawab suaminya, namun tidak demikian dengan posisi seorang suami terhadap istrinya. Seorang isteri berhak mendapatkan suami yang berhias sebagaimana suami berhak atas isteri yang berhias untuk suaminya. Berhiasnya suami disesuaikan dengan kondisi dan situasi agar keharmonisan rumah tangga dan isteri tidak berpaling kepada laki-laki lain.

Saat ada yang menegurnya ketika ia mencukur jenggotnya, Ibnu Abbas berkata, “Sesungguhnya aku berhias untuk isteriku sebagaimana ia berhias juga untukku. Aku tidak suka hanya mengambil hakku saja yang ada padanya, tapi ia pun berhak mengambil haknya yang ada pada diriku. Allah berfirman, ‘Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf’,” (Al Baqarah: 228).

Isteri juga berhak diajari berbagai persoalan agama atau menghadiri kajian-kajian keilmuan, sebab kebutuhan itu untuk memperbaiki kualitas agama dan menyucikan jiwanya. Isteri adalah bagian dari keluarga yang harus dijaga suami agar tidak menjadi bahan bakar neraka. Dan penjagaan dirinya itu adalah dengan iman dan amal shalih. Sedangkan amal shalih itu harus berdasarkan ilmu dan pengetahuan, sehingga ia dapat melaksanakannya sesuai yang diperintahkan syariat.

Pernikahan dalam Islam selalu menyediakan hak dan kewajiban yang saling melengkapi dan berkebalikan. Hak isteri merupakan kewajiban suami, dan hak suami merupakan kewajiban isteri.

Syaikh Sayyid Sabiq berkata, “Di antara hak suami terhadap isteri adalah menaati suami dalam hal-hal yang bukan maksiat, isteri menjaga kehormatan dirinya dan harta suami, menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suami, tidak bermuka masam di hadapannya, dan tidak menunjukkan sikap yang tidak disenangi.” (Fiqih Sunnah).

Seorang wanita yang menikah meletakkan ketaatan utamanya bukan lagi pada kedua orang tuanya. Sejak akad nikah diucapkan, maka tanggung jawab terhadapnya dan ketaatan oleh dirinya berpindah kepada lelaki yang menjadi suaminya.

Dari Aisyah, ia berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, ‘Siapakah orang yang wajib diutamakan haknya oleh seorang perempuan?’ Rasulullah mejawab, ‘Suaminya.’ Aku bertanya lagi, ‘Siapakah orang yang wajib diutamakan haknya oleh seorang laki-laki?’ Rasulullah menjawab, ‘Ibunya.’” (HR Hakim)

Ketatan dan kesyukuran isteri kepada apa yang diberikan dan diperintahkan suami kepadanya akan membawa implikasi yang panjang hingga ke akhirat. Ia akan membawa seseorang menuju neraka atau surga.

Termasuk ketaatan adalah dalam urusan seksual. Jika seorang suami menghendaki berhubungan dengan isterinya, isterinya tersebut tidak boleh menolaknya meskipun ia dalam kesibukan. Bahkan jika saat itu ia sedang dalam kondisi haid karena suami masih boleh mencumbui isterinya di bagian atas. Namun, hendaklah para suami juga memperhatikan kondisi isterinya untuk mengajaknya berhubungan karena hal ini lebih mendekatkan pada kuatnya hubungan kasih sayang. Seorang perempuan yang haid biasanya sedang dalam kondisi fisik dan psikis yang tidak stabil.

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda, “Jika suami mengajak isterinya ke tempat tidur, lalu dia menolak ajakan tersebut hingga suami menjadi marah, para malaikat akan melaknatnya sampai tiba waktu pagi.” (HR Ahmad, Bukhari, dan Muslim)

Kewajiban taat kepada suami ini hanya dalam hal-hal yang dibenarkan oleh syari’at karena tidak ada ketaatan dalam maksiat kepada Allah.

Suami juga berhak mendapatkan seorang isteri yang cantik dengan berhias, seperti memakai celak, pacar, wangi-wangian, atau alat hias lainnya, khusus untuk suaminya.

Dari Karimah binti Hamam, bahwa ia bertanya kepada Aisyah, “Bagaimana pendapatmu, wahai Ummul Mukminin, tentang hukum memakai pacar?” Aisyah menjawab, “Kekasihku, Nabi, menyukai warnanya, tapi membenci baunya. Beliau tidak mengharamkan kamu memakai pacar antara dua masa haid atau setiap kali datang haid.” (HR Ahmad). [duaseptember]
Islampos

Dr Taufik Chaldun : Kenalkan Islam pada Rakyat Papua

Bagaimana tanggapan ustadz tentang pembakaran masjid di papua?

Memang cobaan umat Islam memang berat...

Tapi bila kita mau bersabar, berhijrah lalu berjihad...

Rasanya masalah dapat terselesaikan dengan damai, sebagaimana yang dilakukan  Rasulullah di peristiwa Toif ...

ثُمَّ إِنَّ رَبَّكَ لِلَّذِينَ هَاجَرُوا مِنْ بَعْدِ مَا فُتِنُوا ثُمَّ جَاهَدُوا وَصَبَرُوا إِنَّ رَبَّكَ مِنْ بَعْدِهَا لَغَفُورٌ رَحِيمٌ

Dan sesungguhnya Tuhanmu (pelindung) bagi orang-orang yang berhijrah sesudah menderita cobaan, kemudian mereka berjihad dan sabar; sesungguhnya Tuhanmu sesudah itu benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Surah An-Nahl (16:110)

Sebagaimana usaha kita merubah BSD menjadi Kota Santri..

Dan menjadikN Tolikara Irian Jaya menjadi Kota Santri ...

Mereka belum mengenal apakah Islam itu sesungguhnya...

Setelah mereka tau, mereka akan berlomba hijrah menjadi umat Muslim sebagaimana masyarakat Toif...

Adalah tugas Remaja dan Pemuda KARIB dan Karima, mulai meenyusus STRATEGI DAWAH yang pas...

Insyaa Allah (bila Allah berkehendak)

Aamiin

🇮🇩 Negri Santri

Pekerjaan tangan-tangan asing di Indonesia ...
Pada hal Papua Barat (Irian Jaya) yang bagian Indonesia, sudah modern, dan Papua Newgini (Papua Timur, masih Primitif sekali.

Mari kita mulai memikirkan Strategi "Papua Propinsi Santi" ⭐🌙

🇮🇩 Indonesia Negeri Santri... ⭐🌙

Walau kelihatan KARIB dan,KARIMA masih sangat kecil, tetapi MEMILIKI POTENSI merubah Negri

🇮🇩 Papua Propinsi Santri ⭐🌙 Indonesia....

🇮🇩 Indonesia Negeri Santri ⭐🌙

Papua New Guinie yang tidak terurus, penduduknya sangat primitif, dan menjadi santapan Negara Australia.
Masyarakat nya "diciptakan" supaya tetap bodoh

PAPUA BARAT (Irian Jaya) Indonesia sudah maju, dan sekarang masih menjadi Santapan Paman Sam.

Bila mereka sudah mendapat pendidikan yang,ISLAMI, mereka akan menyatu hatinya dengan Indonesua, dan mempertahankan Harta Indonesia dari penjarah asing, yang ingin kita terpecah...

Mari kita susun Strategi, untuk menjadikan

🇮🇩 Papua Propinsi Santri ⭐🌙

🇮🇩 Indonesia Negeri Santri ⭐🌙

Aamiin ya Rabbil aalamiin

💞⭐🌙💞

Apa Kata Ustadz Felix Shiauw tentang Pembakaran Masjid di Papua

1. berkaitan dengan insiden "Pembakaran Masjid di Papua" | ini jelas bagian kedzaliman besar yang harus dikecam dan diambil tindakan

2. kita memahami betul reaksi ummat Muslim yang sangat menyayangkan hal ini | apalagi kejadian ini terjadi disaat shalat Ied Fitri

3. dan perkara ini dalam Islam adalah bagian kedzaliman yang sangat besar | yaitu menghalangi manusia dari beribadah kepada Allah Swt

4. Dan siapa yang lebih aniaya dari orang yang menghalangi menyebut nama Allah di masjid-masjid-Nya, dan berusaha merobohkannya? (QS2:115)

5. kejadian pembubaran shalat Ied dan pembakaran masjid di Papua ini | menunjukkan pada kita beberapa pelajaran yang bisa diambil

6. pertama, saat Muslim mayoritas,mereka disudutkan dengan dalil toleransi | namun saat minoritas, mereka ditekan dengan dalil demokrasi

7. saat Muslim menjadi mayoritas, kita dipaksa mengorbankan akidah dengan dalil toleransi | membiarkan seluas-luasnya syiar agama lain

8. sebaliknya saat Muslim minoritas, kita dipaksa juga, menghormati yang banyak | juga dengan mengorbankan akidah, mengorbankan agama

9. kedua, lalainya negara memberikan jaminan perlindungan hukum | harusnya hal seperti ini ditindak keras agar tidak menyebar pada yang lain

10. bagaimanapun hal sepert ini berbahaya dalam menyulut konflik antar masyarakat | adalah peran negara untuk memberikan keadilan bagi ummat

11. hanya saja, hukum di negara ini memang rancu, mengapa? | karena tidak diterapkan syariat Islam untuk mengaturnya

12. dalam sistem hukum yang bukan berdasar Islam, baik ummat Muslim ataupun Non-Muslim | sama-sama terancam keberadannya, tidak aman

13. tapi dalam sistem Islam, Islam menjamin dan melindungi semua bentuk ibadah | apapun agamanya, akan dilindungi dan dijamin oleh Islam

14. lalu bagaimana kita menyikapi insiden kedzaliman di Papua ini? | ada beberapa juga yang perlu kita pegang sebagai panduan

15. pertama, harus adil dengan membatasi bahasan hanya pada insidennya dan pelakunya saja | bukan mengeneralisasi dan meluaskan masalah

16. karena kita Muslim dan kita diajarkan Allah dan Rasul-Nya | kita tidak membalas perlakuan dzalim dengan kedzaliman juga

17. kedua, setiap kedzaliman harus dihilangkan, dan ini adalah peran negara | maka negara harus mengambil langkah tegas terhadap insiden ini

18. pelakukanya diusut, ditindak dan dihukum setimpal agar jadi peringatan buat yang lain | dan dijamin agar tidak terjadi hal yang sama

19. ketiga, yang terpenting, kesadaran bahwa tidak akan ada kebaikan menyeluruh | tanpa penerapan syariat Islam secara total di negeri ini

20. sebab hanya syariat Islam yang bisa memberikan jaminan keadilan | karena hukumnya datang dari Yang Maha Adil, Allah Swt

21. haruskah membalas dengan kekerasan? tentu tidak | karena amal fisik itu bagiannya negara yang punya kekuasaan, alat fisik

22. karenanya penting sekali Khilafah yang menerap syariat | agar konflik seperti ini tidak berterus dan berpanjang

23. yang terakhir, kita doakan saudara kita Muslim Papua dan dimanapun mereka minoritas | semoga Allah kuatkan dan mudahkan mereka

24. semoga Allah berikan ganjaran terbaik atas keistiqamahan mereka | dan balasan terbaik berupa ridha-Nya, juga bagi kita semuanya

akhukum @felixsiauw​

Kamis, 16 Juli 2015

Kasus Makmum Ketinggalan Takbir

Kasus Makmum Ketinggalan Takbir

Dalam mazhab Al-Malikiyah disebutkan bahwa bila seorang makmum ketinggalan dalam mengikuti imam dalam takbir shalat ‘Ied, maka selama imam masih bertakbir, hendaknya dia diam saja dan baru bertakbir saat imam sudah selesai membaca takbir atau sudah mulai membaca Al-fatihah.

Tetapi bila seorang makmum bergabung dengan shalat sebagai masbuk, di mana imam sudah selesai bertakbir dan sudah membaca Al-Fatihah atau ayat Al-Quran Al-Karim, maka dia boleh bertakbir sendiri setelah takbiratul ihram lalu mengikuti imam. Hal seperti juga dikerjakan bila dia tertinggal satu rakaat dan baru ikut shalat dengan imam pada rakaat kedua.

Khusus bagi makmum yang tertinggal dua rakaat, yaitu yang tidak sempat ikut ruku’ bersama imam pada rakaat kedua, maka makmum itu harus mengqadha’ sendirian shalatnya itu dengan melakukan shalat dua rakaat setelah imam selesai salam.

Juga dengan bertakbir 6 kali di rakaat pertama dan 5 di rakaat kedua. Kok 6kali?

Mazhab Al-Malikiyah berpendapat bahwa takbir pada rakaat pertama itu 6 kali selain takbirtaul ihram.

Dalam mazhab Asy-Syafi`iyah disebutkan bahwa orang yang masbuk di dalam shalat ‘Ied atau tertinggal sebagian shalat hendaknya bertakbir pada saat setelah selesai mengqadha’ apa yang tertinggal olehnya.

Dalam mazhab Al-Hanabilah disebutkan bahwa makmum yang mendapati imam sudah selesai bertakbir atau sudah dalam bertakbir, maka dia tidak perlu bertakbir. Hal yang sama juga bila dia mendapati imam sudah ruku’.

Hal itu karena tempat untuk takbir sudah terlewat. Dan makmum yang masbuk bertakbir bila makmum itu sudah menyelesaikan qadha’ atas apa yang tertinggal.

Semua itu merupakan kesimpulan dari para ahli ilmu dengan dalil hadits:

Apa yang bisa kamu dapati bersama imam maka shalatlah, sedangkan apa yang terlewat/tertinggal, maka qadha’lah(HR )

Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Ahmad Sarwat, Lc

Www.eramuslim.com

Happy Ied Fithr 1436 H

Assalamualaikum. Wr. Wb
Sahabat karib

Taqabballahu Minna Wa Minkum
Shiyamana Wa Shiyamakum

Selamat hari raya Idul Fitri 1436 H
Maafkan segala salah dlm ucapan dan perbuatan .

Ttp Terus semangat dalam meningkatkan keimanan dan ketakwaan di dalam bulan2 berikutnya..

Wassalamualaikum. Wr. Wb
Pengurus

Rabu, 15 Juli 2015

Doa Rasulullah menjelang akhir Bulan Suci Ramadhan

Doa Rasulullah menjelang akhir Bulan Suci Ramadhan :
للَّهُمَّ لاَ تَجْعَلْهُ آخِرَ الْعَهْدِ مِنْ صِيَامِنَا إِيَّاهُ، فَإِنْ جَعَلْتَهُ فَاجْعَلْنِيْ مَرْحُوْمًا وَ لاَ تَجْعَلْنِيْ مَحْرُوْمًا

Ya Allah, janganlah Kau jadikan bulan Ramadhan ini sebagai Bulan Ramadhan terakhir dalam hidupku. Jika Engkau menjadikannya sebagai Ramadhan terakhirku, maka jadikanlah aku sebagai orang yang Engkau sayangi.

Ya Rahman, terimalah  seluruh amal ibadahku  di Bulan Ramadhan ini

Ya Wasi'al Magfirah, ampunilah seluruh dosa-dosaku, dosa ibu bapakku dan dosa orang-orang yang aku cintai dan sayangi karena Allah.

Ya Mujiib, kabulkanlah seluruh doa-doaku.                                                       
Taqabballahuminna wa minkum, Shiyamana wa shiyamakum.

Sabtu, 11 Juli 2015

REFLEKSI KETAKWAAN KITA DI PENGHUJUNG RAMADHAN Oleh: KH Hafidz Abdurrahman

Nabi menegaskan, “Ramadhan” disebut demikian, karena ia bisa membakar dosa-dosa kita [Hr. Ibn Qudamah]. Dosa-dosa kita dibakar, dengan berbagai ketaatan yang ada di dalamnya, sebagaimana firman Allah SWT: “Inna al-hasanat yudzhibna as-sayyi’at” [Sesungguhnya berbagai kebaikan itu akan bisa menghilangkan keburukan dan maksiat] [Q.s. Hud: 114].

Karena itu, Ramadhan telah dijadikan oleh Allah SWT sebagai bulan puasa, bulan kesabaran, dan tentu bulan penuh berkah. Puasa itu, kata ‘Umar bin al-Khatthab radhiya-Llahu ‘anhu, bukan hanya menahan diri dari makan dan minum, tetapi juga dari hal-hal tidak berguna dan sia-sia [Hr. Ibn Abi Syibah, dalam kitabnya, al-Mushannaf]. Maka, dengan puasa, kita dilatih untuk melakukan ketaatan sepenuhnya kepada Allah, dan menjauhi sejauh-jauhnya maksiat. Termasuk hal-hal yang sia-sia dan tidak berguna pun harus ditinggalkan. Di sinilah, kesabaran kita diuji. Sabar melawan dorongan nafsu dan syahwat.

Sabar melawan dorongan nafsu dan syahwat lebih susah, ketimbang sabar dalam taat. Namun, dengan ketakwaan yang didapat, semuanya itu akan mudah. Bagaimana tidak, ketakwaan yang dibentuk oleh keyakinan pada yang gaib [Q.s. al-Baqarah: 3] itu telah menghasilkan kekuatan tanpa batas. Betapa tidak, ketika kita meyakini Dzat dan Sifat Allah, Allah Maha segalanya, maka keterbatasan kita pun sirna, saat kita bersandar kepada Allah yang Maha tak terbatas.

Dengan susah payah kita pun puasa, shalat, bangun di tengah malam, melangkahkan kaki untuk shalat berjamaah di masjid, membaca dan memahami al-Qur’an serta berjuang untuk menegakkan hukumnya, karena kita yakin dengan janji Allah yang gaib. Pahala, surga, rontoknya dosa-dosa kita saat kaki melangkah ke masjid, semuanya adalah gaib. Semuanya itu kita yakini. Yakin, bahwa apa yang Dia janjikan itu benar dan pasti [Q.s. Fathir: 4]. Karena keyakinan itulah, maka kita pun termotivasi.

Maka, Allah SWT pun berfirman, “Al-Ladzina Yu’minuna bi al-ghaibi” [orang yang meyakini yang gaib] [Q.s. al-Baqarah: 3]. Setelah keyakinan pada yang gaib ini terbentuk dan kokoh, Allah melanjutkan firman-Nya, “Wa Yuqimuna as-shalat” [dan mendirikan shalat]. Artinya, tidak mungkin kita bisa menegakkan shalat dengan sebenar-benarnya, jika keyakinan kita pada yang gaib itu rapuh. Begitu juga ketika Allah melanjutkan firman-Nya, “Wa Mimma razaqnahum yunfiquna” [dan membelanjakan apa yang Kami berikan kepada mereka], maka ini hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang meyakini yang gaib.

Karena itu, keyakinan kita kepada yang gaib, kepada Allah, Dzat dan Sifat-Nya, kepada janji-Nya, termasuk rizki, ajal, pertolongan dan kemenangan, pahala, dosa, surga dan neraka, tentu juga malaikat dan perkara gaib yang lainnya, merupakan dasar dan kunci ketakwaan kita. Dasar yang menjadikan aktivitas kita kokoh tak tergoyahkan, meski dianggap gila, tidak masuk akal dan sebagainya. Allah mengingatkan Nabi:

فَاصْبِرْ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ، وَلاَ يَسْتَحِفَنَّكَ الَّذِيْنَ لاَ يُوْقِنُوْنَ

“Bersabarlah [Muhammad], sesungguhnya janji Allah itu benar dan pasti. Maka, janganlah sekali-kali orang-orang yang tidak meyakini [janji-Nya] itu membuatmu gelisah [tidak percaya diri]. [Q.s. ar-Rum: 60]

Keyakinan kita kepada yang gaib, membuat pikiran kita bisa melintasi batas. Betapa tidak, ketika kita meyakini rizki di tangan Allah, maka keterbatas nominal yang ada di tangan kita tidak akan membatasi kita untuk meraih mimpi mempunyai rumah, kendaraan, menyekolahkan anak dan sebagainya. Namun, jika pikiran kita membatasi rizki dengan nominal dan angka, maka kita pun terbelenggu oleh sekat yang kita buat sendiri. Padahal, rizki Allah Maha luas, tidak seperti angka dan nominal yang kita pikirkan. Maka, dengan keterbatasan nominal di tangan, tak menyurutkan langkah kita tuk meraih mimpi yang tinggi. Karena, kita yakin dengan misteri rizki di tangan Allah yang gaib.

Begitu juga, ketika kita yakin dengan janji Allah, bahwa Khilafah akan berdiri, dan Islam akan tegak kembali di muka bumi [Q.s. an-Nur: 55]. Keyakinan ini membuat pikiran kita bisa melintasi batas dan sekat apapun. Sekat Nasionalisme, perpecahan, perbedaan kelompok dan mazhab, lemahnya SDM, sains dan teknologi, akan bisa ditembus oleh keyakinan kita pada janji-Nya. Keyakinan itulah yang telah menjadikan kaum Muslim di masa lalu bisa mengalahkan apapun dan siapapun, yang secara fisik dan matematis sangat sulit ditundukkan.

Mereka bisa melintasi samudera, menundukkan badai dan apapun yang secara fisik dan matematis sulit ditaklukkan, karena keyakinan mereka pada pertolongan Allah. Maka, tak ada sungai, laut dan samudera, kecuali mereka tundukkan, padahal mereka hanya menggunakan kapal layar. Tak ada radar, navigasi atau kompas. Hanya keyakinan mereka pada pertolongan Allah SWT yang membuat mereka bisa menaklukkan semuanya itu. 

Sekat-sekat materi itu adalah fakta kehidupan dunia yang tampak kasat mata. Jika fakta itu membuat keyakinan kita goyah, maka itulah yang menjadi sumber petaka. Maka, Allah pun mengingatkan:

ياَ أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّ وَعْدَ اللهِ حَقٌّ فَلاَ تَغُرَّنَكُمُ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا..

“Wahai manusia, sesungguhnya janji Allah itu benar dan pasti, maka janganlah sekali-kali fakta kehidupan dunia itu menipu kalian.” [Q.s. Fathir: 5]

Karena itu, keyakinan kita kepada yang gaib harus terus dibersihkan agar mengkristal, bersih dan tak ada sedikit pun diselimuti kekaburan, sehingga bisa mengakibatkan keyakinan kita kepada yang gaib itu rapuh. Caranya, dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah, dengan cara terus-menerus membaca, menghayati dan menerapkan kalam-Nya, yaitu al-Qur’an. Karenanya, Allah menjadikan Ramadhan, bukan hanya sebagai bulan puasa, bulan kesabaran dan bulan penuh berkah, tetapi juga bulan al-Qur’an.

Al-Qur’an yang diturunkan di bulan Ramadhan itu adalah petunjuk, penjelas dan obat penawar hati yang rapuh. Dengan selalu membaca, menghayati dan menerapkan kalam-Nya, hati dan keyakinan kita yang rapuh itu pun bisa dipulihkan. Rintangan dan tantangan apapun dalam kehidupan ini bisa kita atasi. Dunia dan seisinya pun kecil di mata kita. Karena, kita telah bersandar kepada Dzat yang Maha segalanya dan tak terbatas.

Keyakinan yang sama juga menjadi dasar dan kunci ketakwaan kita. Karena itu, kokoh dan tidaknya ketakwaan kita pun akhirnya kembali pada keyakinan kita kepada yang gaib. Semakin jelas, jernih dan mengkristal keyakinan kita pada yang gaib, maka ketakwaan kita pun semakin kokoh. Semoga kita bisa meraihnya, sehingga sempurnalah Ramadhan kita. Amin..

Jumat, 03 Juli 2015

Bagaimana Rasulullah saw menyikapi Nuzul Qur'an

Renungan Ramadhan,

Bagaimana Rasulullah saw menyikapi Nuzul Qur'an,

Kejadian sejarah itu adalah Nuzul Qur’an;
diturunkannya Al Qur’an secara utuh dari Lauhul
Mahfud di langit ketujuh, ke Baitul Izzah di langit
dunia.

ﺷَﻬْﺮُ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ﺍﻟَّﺬِﻱ ﺃُﻧْﺰِﻝَ ﻓِﻴﻪِ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁَﻥُ ﻫُﺪًﻯ ﻟِﻠﻨَّﺎﺱِ ﻭَﺑَﻴِّﻨَﺎﺕٍ ﻣِﻦَ
ﺍﻟْﻬُﺪَﻯ ﻭَﺍﻟْﻔُﺮْﻗَﺎﻥِ . ﺍﻟﺒﻘﺮﺓ 185

“Bulan Ramadhan, bulan yang di padanya diturunkan
(permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia
dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang batil).” (Qs. Al
Baqarah: 185)
Peringatan terhadap turunnya Al Qur’an diwujudkan
oleh masyarakat dalam berbagai acara, ada yang
dengan mengadakan pengajian umum. Dari mereka
ada yang merayakannya dengan pertunjukan pentas
seni, semisal qasidah, anasyid dan lainnya. Dan tidak
jarang pula yang memperingatinya dengan
mengadakan pesta makan-makan.
Pernahkan anda bertanya: bagaimanakah cara
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sahabatnya
dan juga ulama’ terdahulu setelah mereka
memperingati kejadian ini?
Anda merasa ingin tahu apa yang dilakukan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?
Simaklah penuturan sahabat Abdullah bin Abbas
radhiallahu ‘anhu tentang apa yang beliau lakukan.

ﻛَﺎﻥَ ﺟِﺒْﺮِﻳﻞُ ﻳَﻠْﻘَﺎﻩُ ﻓِﻰ ﻛُﻞِّ ﻟَﻴْﻠَﺔٍ ﻣِﻦْ ﺭَﻣَﻀَﺎﻥَ ، ﻓَﻴُﺪَﺍﺭِﺳُﻪُ ﺍﻟْﻘُﺮْﺁﻥَ
. ﺭﻭﺍﻩ ﺍﻟﺒﺨﺎﺭﻱ

“Dahulu Malaikat Jibril senantiasa menjumpai
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada setiap
malam Ramadhan, dan selanjutnya ia membaca Al
Qur’an bersamanya.” (Riwayat Al Bukhari)
Demikianlah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bermudarasah, membaca Al Qur’an bersama Malaikat
Jibril alaihissalam di luar shalat. Dan ternyata itu
belum cukup bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau masih merasa perlu untuk membaca Al Qur’an
dalam shalatnya. Anda ingin tahu, seberapa banyak
dan seberapa lama beliau membaca Al Qur’an dalam
shalatnya?
Simaklah penguturan sahabat Huzaifah radhiallahu
‘anhu tentang pengalaman beliau shalat tarawih
bersama Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
“Pada suatu malam di bulan Ramadhan, aku shalat
bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di
dalam bilik yang terbuat dari pelepah kurma. Beliau
memulai shalatnya dengan membaca takbir,
selanjutnya beliau membaca doa:

ﺍﻟﻠﻪ ﺃﻛﺒﺮ ﺫُﻭ ﺍﻟﺠَﺒَﺮُﻭﺕ ﻭَﺍﻟْﻤَﻠَﻜُﻮﺕِ ، ﻭَﺫُﻭ ﺍﻟﻜِﺒْﺮِﻳَﺎﺀِ ﻭَﺍﻟْﻌَﻈَﻤَﺔِ

Selanjutnya beliau mulai membaca surat Al Baqarah,
sayapun mengira bahwa beliau akan berhenti pada
ayat ke-100, ternyata beliau terus membaca.
Sayapun kembali mengira: beliau akan berhenti pada
ayat ke-200, ternyata beliau terus membaca hingga
akhir Al Baqarah, dan terus menyambungnya dengan
surat Ali Imran hingga akhir. Kemudian beliau
menyambungnya lagi dengan surat An Nisa’ hingga
akhir surat. Setiap kali beliau melewati ayat yang
mengandung hal-hal yang menakutkan, beliau
berhenti sejenak untuk berdoa memohon
perlindungan. …. Sejak usai dari shalat Isya’ pada
awal malam hingga akhir malam, di saat Bilal
memberi tahu beliau bahwa waktu shalat subuh telah
tiba beliau hanya shalat empat rakaat.” (Riwayat
Ahmad, dan Al Hakim)
Demikianlah cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam memperingati turunnya Al Qur’an pada bulan
ramadhan, membaca penuh dengan penghayatan
akan maknanya. Tidak hanya berhenti pada
mudarasah, beliau juga banyak membaca Al Qur’an
pada shalat beliau, sampai-sampai pada satu raka’at
saja, beliau membaca surat Al Baqarah, Ali Imran
dan An Nisa’, atau sebanyak 5 juz lebih.
Inilah yang dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada bulan Ramadhan, dan demikianlah cara
beliau memperingati turunnya Al Qur’an. Tidak ada
pesta makan-makan, apalagi pentas seni, nyanyi-
nyanyi, sandiwara atau tari menari dll...
Wallahu'alam...

SEPARUH RAMADHAN

SEPARUH RAMADHAN

Lihatlah indahnya rembulan dilangit.. 
Purnama bersinar penuh pertanda separuh Ramadhan telah kita jalani.

Lalu....

Sejenak tengoklah mushaf al-Qur'an.
Berapa lembar yang "sempat" kita baca dan tadaburi.

Separuh juga khan...?
Bahkan lebih...
Semoga...

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Bacalah al-Qur'an karena sesungguhnya dia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at kepada orang yang membacanya...”
(HR. Muslim: 1871)

Sebagian ulama berkata,

"Barangsiapa yang tidak membaca al-Qur'an saat bulan Ramadhan maka di bulan selainnya lebih terlalaikan lagi..."

Masih belum terlambat bagi kita memperbaiki diri.

Entah...
Akankah tahun esok kita bersua kembali dengan Ramadhan...?

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“... dan celaka seseorang yang mendapatkan bulan Ramadhan, kemudian melewatinya sebelum dosa-dosanya diampuni...”

(Hasan shahih, HR at-Tirmidzi: 3545)